Panduan Menyiapkan Perpisahan



Duapuluh delapan tahun hidup aku menyadari hal yang paling ndak bisa kuhadapi ada satu, yaitu perpisahan. Aku ingat gimana waktu umur lima tahun aku gamau ditinggal di kelas sendirian, harus ditungguin sama bude sampe kelas selesai. Di umur tujuh tahun aku nangis meraung waktu Papa pergi ke Bogor buat sekolah. Enam belas tahun kemudian aku nangis berhari-hari karena harus ninggalin temen-temen buat kerja ke Jakarta.
Dan sekarang, untuk menyambut perpisahan yang nampaknya makin mungkin terjadi begitu saja dan tanpa aba-aba, maka sepertinya aku perlu membuat sebuah panduan: Panduan Menyiapkan Perpisahan. Judul ini menyadur film yang bentar lagi rilis, belum kutonton tapi bikin aku merasa panduan itu benar-benar perlu. Ada beberapa hal yang terlintas di kepala yang kupikir bisa membuatku “less sad” ketika nanti harus pisah. Mungkin daftarnya akan bertambah lagi nanti. Tapi yang sementara terpikir kurang lebih begini:

Pertama, agar perpisahan tidak begitu menyedihkan maka aku harus menuliskan soal apa-apa saja yang berhasil kulakukan sendirian tanpa merasa kesepian. Alasannya tidak lain tidak bukan adalah untuk pengingat bahwa sendiri pun bisa baik-baik saja, aku cukup kuat dan adaptif untuk menjajal hal-hal baru tanpa harus ditemani.

Kedua, aku harus perlahan mengurangi attachment pada manusia, benda atau pada kota. Sama kayak beratnya pergi dari Jogja, ternyata aku bisa juga sedih membayangkan pergi dari Jakarta. Barangkali ini karena aku sering menaruh arti dan simpati pada benda atau ruang atau manusia di sekitarku, seperti: Pohon bougenvile di Jalan Karbela II yang sering kulewati, kucing-kucing yang berebut makanan di persimpangan Karbela V, cilok enak di Jalan Komando dan lontong sayur Uni yang kubeli tiap minggu pagi.  Sepertinya pelan-pelan maknanya harus kulepas satu-satu. 

Ketiga, aku harus mengurangi ketergantunganku pada orang-orang dekat yang entah dengan cara apa bisa pergi tiba-tiba. Caranya sekali lagi dengan terbiasa mengurus diri sendiri, sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain. Barangkali itu yang aku masih kesulitan. Perkara ambil tissue yang dua langkah dari tempatku duduk aja aku minta tolong orang buat ngambilin. Aku suka ga sadar betapa aku menggantungkan banyak perkara remeh ke orang lain. Mulai sekarang, itu harus kukurangi.

Keempat, aku harus membiasakan bertemu orang baru walau cuma sepintas lalu. Pengalaman ketemu orang baru membantu kepalaku melatih kemampuan adaptif, bahwa banyak hal bisa berubah kapan saja dan aku harus agile untuk itu. Ketemu orang baru juga bisa jadi pengingat bahwa bertemu dan berpisah itu sesuatu yang wajar yang ga perlu ditangisi berlarut.

Kelima, aku harus lebih mengenali diri sendiri, apa sih yang beneran kusuka. Selama ini aku cenderung menyukai apa yang orang-orang terdekatku suka. Jadi ketika orang itu pergi, aku gatau lagi harus melakukan apa yang bikin aku seneng. Belakangan ini aku baru ngeh kalau ternyata nonton film, nonton konser dan kulineran adalah kegiatan favoritku. Yang begini-begini yang harus sering kukenali dan kulakukan lebih sering.

Keenam, aku harus lebih rajin jaga kesehatan. Ga selamanya orang bisa nemenin dan bantuin pas aku sakit. Jadi aku harus memastikan diri tetap sehat. Caranya lebih rutin olahraga, makannya ga pernah telat, kurangi minum alkohol.

Paling tidak enam hal ini dulu yang harus kulakukan dalam waktu dekat. Bisa jadi bulan depan daftarnya akan bertambah jadi tujuh atau delapan. Mari kita lihat nanti

Comments

Popular Posts