Aceh dan Perjumpaan dengan Yang Lain


Ini pertama kalinya saya ke Aceh, satu provinsi di ujung barat Indonesia yang sebelumnya nggak pernah terlintas buat saya kunjungi. Awalnya karena saya tergabung di satu tim kajian yang bicara tentang rekonsiliasi pelanggaran HAM berat masa lalu. Aceh dipilih jadi salah satu situs karena sejarah konflik dan kekerasan yang panjang sejak tahun 1976 dan belum benar-benar selesai hingga hari ini. Selain Aceh, ada Jogja dan Bali yang punya sejarah kekerasan pasca tragedi 1965 serta Banyuwangi, tempat terjadinya pembunuhan massal terhadap orang yang diduga dukun santet. Saya lupa kenapa saya yang dipilih untuk ke Aceh, kalau tidak salah ini soal kecocokan jadwal dan supaya saya bisa mencicip hal-hal baru.

Pas tahu harus ke Aceh dan bertemu korban konflik antara GAM dengan pemerintah RI, saya gelisah bukan main. Pertama, membayangkan saya datang bawa nama institusi negara lalu menemui orang-orang yang kecewa betul sama pemerintah, itu membuat perasaan saya campur aduk. Ada rasa takut, cemas, perasaan bersalah, sekaligus antusias karena tanggungjawab baru yang sedari dulu saya idamkan. Setelah lima tahun akhirnya saya dibolehkan ikut kajian, apalagi untuk isu yang dari dulu memang saya tekuni. Namun justru karena itu pulalah ada beban moral untuk menjadikan kajian ini tidak sekedar bagus tapi juga advokatif. Alasan kedua, sebelum saya turun ke lapangan, saya sudah berdiskusi dengan beberapa teman dan bikin pra-studi kecil-kecilan untuk tahu lebih banyak tentang konteks Aceh. Selama ini studi rekonsiliasi yang saya lakukan lebih banyak berkutat soal tragedi 1965. Meski bukan hal yang baru sama sekali, tapi pengetahuan saya soal Aceh sangat minim. Setelah diskusi bersama teman-teman yang pernah ke Aceh, saya makin tahu bahwa yang akan dihadapi adalah orang-orang yang masih punya luka, rasa marah dan trauma atas kekerasan yang mereka alami di masa lalu. Sejak awal tim sudah berkomitmen, pemenuhan data itu nomor dua, tapi kesehatan dan keselamatan korban yang nomor satu. Jadi saya diminta bersiap kalau harus menerima penolakan, bentakan, atau yang paling parah tidak berhasil menemui siapa-siapa di Aceh. 

Persiapan ke Aceh sudah saya lakukan dua minggu sebelum keberangkatan. Selain minta petuah dari teman-teman yang udah lama berkecimpung di Aceh paham soal isu ini serta baca lebih banyak soal konflik Aceh, ternyata saya juga harus menyiapkan printilan kecil lainnya. Saya meminjam pashmina sekaligus belajar pakai hijab yang tidak ribet, beli rok panjang yang tidak ketat, serta baju lengan panjang yang nggak nerawang. Saya sudah kontak orang-orang yang harus saya temui pertama kali di Aceh, mereka yang paham konteks dan bisa menjembatani kami dengan para korban. Untung saja orang-orang ini baik dan terbuka, saya berhutang banyak terimakasih untuk mereka.

***

Akhirnya sampai pada harinya saya mendarat di Aceh, dengan jilbab yang masih sering lepas kalau kena angin, dan cara jalan yang masih kikuk karena nggak terbiasa pakai rok panjang. Hari pertama di tanah Aceh, saya merasa hanyalah orang asing dan tamu yang memohon untuk diterima. Seorang jawa, nasrani, dan pegawai negeri. Tiga identitas kombo yang pernah atau barangkali masih dianggap sebagai ancaman untuk mayoritas warga Aceh. Kalau kata Levinas, barangkali, saya adalah seorang "yang lain", yang selalu punya kemungkinan mengintrusi kenyamanan mereka sebagai tuan rumah. Dan baru kali ini ada perasaan takut karena identitas bawaan saya, sesuatu yang pasti pernah dirasakan para korban di masa konflik dulu. Makin paham konteksnya, makin saya tahu bahwa saya harus hati-hati.

Setelah menemui beberapa orang yang bisa menjadi penghubung kami dengan korban, pada hari kedua saya bertemu dengan salah satu perwakilan komunitas korban yang tinggal di Pidie. Benar saja di tiga puluh menit pertama kami terdiam seperti murid yang dikuliahi gurunya karena terlambat masuk sekolah. Meski bukan kami yang menunda turunnya bantuan dan reparasi, meski tugas kami hanya melakukan kajian, tapi kami tetap harus terima jadi pihak yang salah, pihak yang kena marah. Sulit untuk tidak mengiyakan alasan kemarahan mereka. Sudah berkali-kali orang datang menanyai ini itu, mengingatkan mereka pada luka yang berusaha disembuhkan sendiri, tapi pada akhirnya tidak dapat apa-apa. Dan sedih rasanya saya nggak bisa memberi jawaban untuk kegelisahan mereka.

Setelah tiga puluh menit dan  kopi hitam Aceh dihidangkan, suasana lebih cair. Waktu itu saya sudah lupa punya asam lambung, dan mulut sudah kering setelah berkali-kali menelan ludah mendengar cerita mereka, jadi akhirnya saya seruput juga kopi hitam kental itu. Sambil kami meneguk kopi gayo, salah satu Ibu menceritakan masa lalunya, juga masa lalu saudara-saudarinya, yang beberapa tidak ditemukan. Beliau juga cerita tentang salah satu korban yang sampai sekarang masih takut melihat mobil berkaca gelap karena pernah ditangkap paksa oleh aparat waktu itu. Saya terharuu sekali karena pada akhirnya mereka menjawab semua pertanyaan yang kami siapkan. Saya kagum sekaligus malu dengan kebesaran hati mereka menerima kami dan melihat kami sebagai individu dengan daya yang terbatas juga. 

Obrolan kami berlangsung kurang lebih dua jam. Kami lalu diajak berkeliling area yayasan, menikmati camilan keripik ubi yang dipanen dan diolah oleh para penyintas. Sebelum pulang kami membawa beberapa bungkus untuk teman-teman di Jakarta. Kami lalu pamit untuk kembali ke Banda Aceh sebelum akhirnya pulang ke Jakarta. Kami juga ijin menuliskan cerita-cerita penyintas sebagaimana diceritakan, tapi tidak berani berjanji apa-apa. 

Di pesawat sebelum pulang, saya sempatkan melihat dari kaca jendela pesisir Aceh, rumah-rumah yang tumbuh, masjid yang kokoh menaungi umatnya, orang-orang yang dengan caranya sendiri bertahan hidup. Di kepala terbayang kembali wajah-wajah dengan jejak Yang Tak Terhingga yang membuka rumahnya buat saya lima hari kemarin. Saya sadar waktu itu saya sedang membawa pulang tanggungjawab atas keberlangsungan orang lain. Kematian mereka akan menjadi kematian saya yang pertama.

Comments

Popular Posts