Pagi di Kota Orang
Hari ini satu tahun yang lalu, saya lagi sibuk-sibuknya mengemas baju dan dokumen untuk berangkat ke Melbourne -perjalanan terlama pertama yang pernah saya lakukan. Australia akhirnya membuka tapal batas setelah dua tahun benar-benar menutup diri. Waktu itu saya sudah enam bulan lebih tinggal di rumah Ambarawa, mengikuti kuliah secara online sambil momong keponakan. Buat orang yang selama ini ngekos, tinggal enam bulan di rumah cukup membosankan. Jadi ketika ada kesempatan berangkat ke Melbourne, sama sekali nggak terpikir bakal kangen rumah. Berangkat rasanya enteng banget, terlebih karena sudah berbulan-bulan menanti momen itu.
Di antara orang serumah sudah pasti Mama yang paling berat dan kepikiran pas aku berangkat Melbourne. Dia nggak percaya anaknya bisa hidup sehat di negara orang, apalagi selama di rumah saya pernah masuk rumah sakit gara-gara asam lambung kambuh. Jadi selama di Melbourne Mama rutin banget video call, walaupun yang lebih sering ngobrol selama ditelpon Banyu, Bumi atau Mbak Arum. Biasanya Mbak Arum update Nana udah bisa ngapain aja, Bumi pamer udah bisa berhitung sampai duapuluh, Banyu pamer punya pantun baru. Obrolan-obrolan ringan macam begitu yang membuat saya merasa tetap di rumah, mengikuti mereka tumbuh walau dari jauh.
Kebiasaan video call ini kemudian berlanjut meski saya sudah pulang dan kembali kerja tinggal di Jakarta. Tidak sesering dulu sih, tapi paling ndak seminggu sekali ada video call dengan orang rumah. Barangkali karena kebiasaan yang mulai terbangun setahun lalu, kemarin tanggal 14 Desember 2022, untuk pertama kalinya, saya ngerasa pengen tinggal dekat rumah aja, kayak Mbak Arum sama Mbak Tika.
***
Tanggal 13 Desember malam, Mama telepon, ngabarin kalau Mbah Mik, adeknya nenek saya, makin parah kondisinya. Sedari kecil, saya nggak begitu dekat sama nenek dan kakek langsung, barangkali karena cucunya udah kebanyakan. Tapi Mbah Mik, yang selama ini tinggal sendirian, dekaaat banget sama anak-anak Mama. Mbah Mik orang yang pertama kami repotin kalau harus antar kesana kemari naik mobil. Jaman kuliah pun begitu Mbah Mik yang nganterin saya ke Jogja kalau Papa lagi capek. Sudah tiga tahun lebih Mbah Mik sakit-sakitan, dimulai dari vertigo, lalu diketahui ada darah tinggi, asam urat, diabetes, dan terakhir harus cuci darah. Pas saya pulang beberapa bulan lalu, kami masih bisa mengobrol, dia menanyakan pekerjaan saya, lalu minta dipesankan alat bantu jalan dari toko online.
Tapi beberapa minggu ke belakang Mbah Mik lebih banyak tidur, diajak berkomunikasi sudah sulit, nggak mau makan, dirujuk ke rumah sakit malah ngambek. Lewat telpon, saya cuma bisa mendengarkan cerita Mama sambil berharap, saya masih punya waktu ketemu Mbah Mik pas pulang natal dua minggu lagi. Ternyata pagi berikutnya, jam setengah enam pagi, Mbak Tika update di grup keluarga, Mbah Mik meninggal. Saya tahu pada akhirnya harus menghadapi momen ini, sejak Mbah Mik cuci darah pertama kali, kami semua sudah bersiap. Tapi begitu dengar berita pagi itu, tetap saja saya masih gamang apakah pulang atau tidak, apakah bisa ngajuin cuti atau tidak, kalau pulang bakal keburu pemakaman apa tidak. Saya kebanyakan mikir dan mempertimbangkan sampai akhirnya nggak dapet pesawat paling pagi ke Semarang. Akhirnya saya ndak jadi pulang dan melewatkan pemakaman.
Seharian itu, untuk pertama kalinya, saya ngerasa takut tinggal jauh dari rumah: takut bakal kehilangan momen-momen penting, takut jadi orang yang terakhir tahu kabar orang rumah, dan takut harus menghadapi rasa sedih semacam ini sendirian. Saya takut, selagi mereka membuat memori baru tiap harinya, saya nggak ada disitu. Perihal-perihal terlewat yang tadinya saya anggap biasa, tiba-tiba jadi kehilangan yang besar buat saya.
Tapi pada akhirnya yang bikin sedih bukan rasa kangen dan takut kehilangannya per se melainkan kesadaran bahwa ego saya masih terlalu tinggi buat meninggalkan banyak hal di kota orang dan memilih pulang. Dan saya berada di antara dua kutub yang tarik-menarik, penyesalan atas keputusan meninggalkan rumah atau ambisi menyelesaikan yang sudah dimulai.
Comments
Post a Comment