Kaleidoskop 2022
Memaafkan
Menurutku semua orang yang habis menghadapi perpisahan punya tugas yang sama yaitu melepas. Buatku, syarat paling utama untuk melepas adalah memaafkan: memaafkan diri sendiri, memaafkan mantan pasangan dan memaafkan kondisi yang membuat perpisahan jadi hal paling baik yang bisa dipilih. Orang-orang bertanya kenapa aku memilih buat memaafkan dan berelasi kayak biasa lagi (re: nggak ada hard feeling). Aku pun tadinya tidak membayangkan bisa begini. Tapi ternyata memendam benci dan marah jauh lebih berat ketimbang beban untuk melepas dan memaafkan. Aku ndak bisa terus-terusan menyalahkan orang untuk kesedihan yang bikin asam lambungku makin parah. Cara paling mudah yaudah menerima fakta bahwa orang mungkin berubah tanpa kita tahu, salah atau disalahi itu wajar, belum tentu yang bertahan lama berarti lebih bisa menangani konflik. Dan yang paling penting meyakinkan diri sendiri apa yang terjadi di luar kuasaku, bukan sepenuhnya salahku, usaha memang kadang mengkhianati hasil. Orang bilang maafin beda tipis sama mengalah, tapi aku malah ngerasa menang: menang dari pikiran buruk, menang dari ego buat nyalahin orang lain, menang karena akhirnya aku milih diriku sendiri ketimbang orang lain. Akhirnya, entah ini namanya kebodohan atau kebesaran hati, tapi aku ngerasa memaafkan jadi pilihan yang paling melegakan dan bikin hidup jauh lebih enteng. Paling tidak sejauh ini ya dan semoga ke depan nggak ada kumat kumat lagi.
Berteman
Harus diakui, di masa-masa memaafkan dan proses setelahnya aku banyak mengandalkan keberadaan teman-teman dekat. Mereka yang ajeg mendengarkan cerita, ngedumel sesekali dan kadang mengutuki kecerobohanku jatuh di lubang yang sama. Sebenarnya yang bikin aku nyaman cerita sama mereka tu karena mereka bisa kuajak menertawakan kesedihan sih. Mereka bukan orang yang sentimental yang kalau aku curhat nangis-nangis terus dikasihani (Orang pernah pas lagi curhat terus ga sengaja snack Taro yang kumakan tumpah hampir separuh, masih juga diketawain). Nggak kebayang kalau tanpa mereka yang mendistraksi rasa sedih dan marahnya, aku bakal jadi kayak apa. Gara-gara mereka aku jadi punya alasan buat nggak pulang cepat soalnya kalau pulang cepet pasti nangis di kamar mandi, terus ketiduran di lantai kayak jaman pertama-tama di Jakarta dulu. Haha.
Tapi aku tau sih menggantungkan diri sama mereka juga ga boleh terus-terusan, jatuhnya sama aja kayak memindahkan masalah dari satu mangkuk ke mangkuk lainnya. Aku belajar bahwa di dunia yang kita tinggali, manusia itu bergerak, nggak ada yang permanen, dan pada akhirnya aku bakal sendiri juga. Jadi sekalipun ada teman-teman yang bisa digangguin, aku harus belajar mandiri. Aku yakin sih walaupun nanti pada sibuk sama hidupnya sendiri, orang-orang ini bakal masih ada, caranya aja yang beda. Sama kayak temen-temen kuliah, walaupun nggak bisa nongkrong tiap hari kayak dulu, tapi pas aku lagi butuh ada aja dari mereka yang menyediakan ruang buat cerita, yang menyediakan waktu buat ketemu.
Tapi tetep aja, targetku sekarang adalah bisa menikmati ‘sendiri’ tanpa perlu takut ngerasa ditinggal sama orang-orang.
Sendirian
Di penghujung tahun kemarin, aku baru sadar betapa sekarang aku punya kecenderungan takut sama rasa sepi, takut ditinggalin, takut sendirian. Nampaknya selama pacaran, kehadiran satu sosok yang konstan itu memberi jaminan dan kelegaan sehingga aku terbiasa punya orang yang menemani di tiap situasi: bahkan sesederhana untuk beli botol aqua. Setelah kami memutuskan untuk selesai, aku terpaksa membiasakan diri untuk melakukan semuanya sendiri lagi. Dan harus diakui itu kerap bikin ngerasa sepi.
Ada banyak yang kulakukan entah sadar atau tidak, biar ga ngerasa sepi. Aku sengaja tidak pulang cepat, nyamperin teman-teman yang masih kerja di mejanya, menertawakan satu dua hal sampai capek lalu pulang untuk tidur. Di akhir pekan aku jalan keliling gang sambil dengerin musik dengan volume tinggi, seakan itu bisa meredam suara kepala sendiri. Sempat beberapa bulan install bumble untuk cari teman ngobrol sampai akhirnya bosan juga. Aku jadi suka datang ke event-event festival, mau itu festival musik atau makan, nonton podcast live, stand up comedy, apapun yang membuatku ketemu orang baru dan membiarkan tenggelam di euforia kerumunan.
Sampai akhirnya aku baca tulisan Afutami di blognya: tentang bagaimana akhir dari “grieving” adalah kemampuan untuk menikmati sepi sendiri. Kata Afu, dia bisa lepas dari kemurungannya bukan karena nemu orang baru tempat dia bisa pulang dan neduh, tapi karena dia sudah bisa menikmati kesendiriannya.
Terakhir kali aku pergi sendirian, menikmati hening yang diam itu ketika datang ke Museum Macan nonton pameran seni di bulan November kemarin. Ternyata aku bisa, dan cukup menikmatinya. Pas mau kesana ada teman yang komentar: iseng banget sih ke museum sendiri (apalagi dari kemarin yang lagi populer museum date). Buatku datang ke museum sendiri itu sebuah tantangan dan akhirnya aku melihat kemampuanku menikmati museum macan sendirian sebagai sebuah pencapaian! Walaupun belum konstan, tapi rasanya puas bisa sesekali melakukan apa yang kusuka, bisa melakukannya sendiri dan sama sekali ga ngerasa kurang meski nggak ada yang nemenin.
Pada akhirnya, aku harus menyadari bahwa tidak ada yang konstan, baik itu pasangan atau teman atau rasa sepi itu sendiri. Satu-satunya cara adalah menikmati setiap proses kemana-mana sendiri. Dimulai dari minggu ini, nonton film Autobiography sendiri! Terus dua minggu lagi mau nonton pertandingan badminton sendiri!
Semoga dalam perjalanannya ketemu banyak orang baik dan nggak ngerasa kesepian. Dan semoga ini terapi yang ampuh untuk mengurangi perasaan takut ditinggal dan sendirian! Amin!
Comments
Post a Comment