Dan kematian semakin akrab


Beberapa malam ke belakang, Tuhan dan kematian terasa begitu dekat. Tidur dan mimpi makin terasa seperti judi dengan taruhan apakah bisa bangun lagi. Di sela-sela doa dan ketakutan akan dosa, aku berpikir apa jadinya kalau aku mati hari ini.

Sudah dua minggu ini asam lambung kambuh dan tiap malam dada rasanya panas dan nyeri sekali. Mau berobat lagi rasanya malas, tapi terus terusan batuk ternyata capek juga. Aku teringat cerita salah satu teman yang ibunya meninggal karena sesak napas akibat asam lambung yang naik melewati kerongkongan. Juga Tante Tri, yang bertahun lalu meninggal karena asam lambung naik sampai ke jantung. Bagaimana kalau lambungku sudah seberontak itu?

Di malam-malam yang seperti itu, berulang kali aku mengutuki diri: sudah tau hidup di Jakarta cuma sendiri tapi masih suka saja menyusahkan diri. Aku belum bisa ngatur pikiran yang suka kemana-mana kalau ketrigger dikit aja, akhirnya stress terus perut lagi yang kena. Tapi barangkali sikap mengutuki diri sendiri itu jugalah yang bikin makin tertekan jadi ga sembuh-sembuh. Dan semua itu berputar-putar di kepala hingga pagi rasanya lama sekali.

Semalam di tengah batuk yang susah banget berhenti, aku memikirkan alasan kenapa aku takut mati. Bisa jadi karena prosesnya, bisa jadi karena ketidakpastian yang harus kuhadapi di dunia orang mati, atau bisa jadi karena hal-hal yang harus kurelakan di dunia orang hidup. Setelah lulus master aku sempat berpikir tidak ada lagi yang kukejar, hidup terasa begitu cukup dan kematian harusnya bukan jadi masalah. Tapi ternyata membayangkan harus pergi meninggalkan orang rumah, teman dan kerabat lebih menyeramkan ketimbang mati itu sendiri. Apalagi yang lebih menyakitkan ketimbang perpisahan yang tiba-tiba pada hidup yang baik-baik saja?

Mereka yang ada buatku sekarang rasanya sudah cukup, nggak kurang nggak lebih. Untuk pertama kalinya aku merasa bisa mencintai diri sendiri dan orang-orang di sekitarku secara sekaligus. Aku bisa mencintai tanpa harus kompromi, aku bisa mencintai tanpa takut melukai.

Tapi cara pikir manusia aneh sekali. Sewaktu menyadari hidup begitu indah, seketika itu juga kehilangan jadi rasa takut yang menumpuk-numpuk. Bagaimana kalau semesta menyudahi apa-apa yang dirasanya sudah cukup? Aku tidak mau lebih tapi bisakah cukup ini bertahan lebih lama?







Comments

Popular Posts